ARTICLE AD BOX
Hukum, gemasulawesi - Kasus suap hakim di Pengadilan Negeri Surabaya semakin memanas setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan ibu dari Gregorius Ronald Tannur, berinisial MW, sebagai tersangka.
Suap ini diduga diberikan agar hakim memvonis bebas Ronald dari dakwaan pembunuhan pacarnya, Dini Sera Afrianti.
Penetapan tersangka ini menjadi perhatian publik mengingat kompleksitas dan dampak dari kasus ini terhadap sistem peradilan.
Kejagung sebelumnya telah mengungkapkan adanya praktik suap dalam kasus yang melibatkan Ronald Tannur, di mana sejumlah tersangka telah ditetapkan.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa penetapan MW sebagai tersangka dilakukan setelah pihaknya melakukan pemeriksaan maraton di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
“Kami menemukan bukti cukup adanya Tindak Pidana Korupsi berupa suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh MW, sehingga statusnya ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka,” ungkap Qohar dalam konferensi pers di kantornya pada Seninn, 4 November 2024.
Menurut informasi yang diperoleh, MW diduga menghubungi Lisa Rachmat, pengacara Ronald, untuk meminta bantuan dalam mengatur vonis anaknya.
Keduanya memiliki kedekatan karena anak keduanya bersekolah di tempat yang sama. Dalam pertemuan tersebut, MW meminta Lisa agar mengatur vonis untuk Ronald.
Lisa kemudian menjelaskan bahwa akan diperlukan biaya untuk mengurus perkara itu, dan MW bersedia untuk menyediakannya.
Ia menyiapkan dana sebesar Rp 1,5 miliar, sementara Lisa menalangi Rp 2 miliar sisanya, sehingga total dana yang dihimpun untuk para hakim mencapai Rp 3,5 miliar.
Setelah melalui proses persidangan di PN Surabaya, Ronald Tannur divonis bebas.
Namun, keputusan ini mencuatkan kontroversi dan memunculkan dugaan bahwa keputusan hakim tidak terlepas dari pengaruh suap.
Kini, tiga hakim yang terlibat dalam kasus ini juga telah ditetapkan sebagai tersangka, menunjukkan bahwa praktik suap dalam sistem peradilan ini lebih luas dari yang diperkirakan.
Atas perbuatannya, MW dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 6 ayat 1 huruf a juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasus ini mencerminkan tantangan serius dalam menjaga integritas sistem peradilan dan pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk mencegah praktik korupsi.
Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dan berharap dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. (*/Shofia)