ARTICLE AD BOX
Hukum, gemasulawesi - Kasus suap dan korupsi yang menjerat pejabat publik di tanah air kembali memicu sorotan.
Terbaru, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang menjabat antara 2015-2016, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia.
Penetapan ini berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan impor gula di Kementerian Perdagangan selama tahun 2015 hingga 2023.
Kejagung tidak hanya menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka, tetapi juga satu tersangka lainnya, yakni mantan Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial TS.
Baca Juga:
Profil Tom Lembong, Mantan Timses Anies Baswedan yang Kini Jadi Tersangka Kasus Korupsi Impor Gula
Keduanya disangka melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 400 miliar.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Abdul Qodir, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada 29 Oktober 2024.
Surat Penetapan Tersangka untuk Tom Lembong dikeluarkan dengan nomor TAP-60/F.2/Fd.2/X/2024 pada tanggal yang sama.
Dalam kasus ini, keduanya dijadwalkan menjalani masa penahanan selama 20 hari. Tom Lembong ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sementara TS ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung.
Abdul Qodir menjelaskan bahwa kedua tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021.
Dari hasil penyidikan, terungkap bahwa pada 18 Mei 2015, Rapat Koordinasi (Rakor) antara kementerian menyimpulkan Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong memberikan izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP, yang kemudian diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP).
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 157 Tahun 2004, importasi GKP seharusnya hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, izin yang dikeluarkan oleh Tom Lembong memungkinkan PT AP untuk melakukan impor tanpa melibatkan instansi terkait atau mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Dalam perkembangan selanjutnya, Rakor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 28 Desember 2015 juga membahas mengenai kekurangan GKP yang mencapai 200 ribu ton.
Selama periode November-Desember 2015, TS memerintahkan stafnya untuk mengadakan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta untuk memenuhi kebutuhan GKP, padahal pengadaan tersebut seharusnya dilakukan oleh BUMN.
Kedelapan perusahaan yang diizinkan mengimpor GKM ternyata hanya memiliki izin untuk produksi gula rafinasi, bukan untuk pengolahan GKP.
Akibatnya, gula tersebut dijual kepada masyarakat dengan harga Rp16.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp13.000 per kilogram.
Dari pengadaan GKM ini, PT PPI memperoleh fee sebesar Rp105 per kilogram dari setiap perusahaan.
Dari praktik korupsi tersebut, kerugian negara akibat impor gula yang tidak sesuai dengan ketentuan mencapai sekitar Rp400 miliar.
Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menyelidiki lebih dalam dan menuntut pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Dalam konteks ini, publik mengharapkan penegakan hukum yang tegas terhadap para pejabat yang terlibat dalam tindakan korupsi, terutama mengingat dampaknya yang signifikan terhadap perekonomian dan masyarakat. (*/Shofia)