ARTICLE AD BOX
Nasional, gemasulawesi - Ketua BKSAP DPR RI, Mardani Ali Sera baru-baru menyoroti masyarakat kelas menengah di Indonesia dan kebijakan kenaikan PPN 12 persen.
Melalui akun X atau Twitter resminya @MardaniAliSera pada Senin, 23 Desember 2024, Mardani mengungkapkan pandangannya terkait pentingnya memperkuat masyarakat kelas menengah sebagai tulang punggung kemajuan negara.
Dalam cuitannya, Mardani merujuk pada sebuah tulisan ekonomi di sebuah majalah yang menurutnya sangat relevan dengan kondisi saat ini.
"Tulisan bagus (karya tulisan di suatu majalah yang diunggah Mardani): tulang punggung dari kemajuan negara adalah kelas menengah yg kuat. Target 70% kelas menengah wajib sgr diusahakan," tulisnya.
Mardani menekankan bahwa pengembangan kelas menengah merupakan kewajiban, meski fokus membantu masyarakat miskin tetap diperlukan.
Menurutnya, kebijakan yang membebani masyarakat kelas menengah, seperti kenaikan PPN 12 persen, hanya akan mengurangi produktivitas mereka.
"Hapus pengenaan potongan atau kewajiban yg membuat kelas menengah tdk produktif. PPN 12% memberatkan," lanjutnya dalam cuitan tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan tersebut harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak justru melemahkan perekonomian.
Sebelumnya, pada 8 Desember 2024, Mardani juga menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan tersebut melalui unggahan di akun Instagramnya @mardanialisera.
Dalam unggahan tersebut, ia secara tegas menilai bahwa mudarat dari kebijakan kenaikan PPN 12 persen lebih besar dibandingkan manfaatnya.
"Mudaratnya lbh banyak naik PPN 12% saat ini. Tunda atau batalkan kenaikan PPN 12%," tulis Mardani Ali Sera di unggahannya.
Isu kenaikan PPN 12 persen ini memang telah menjadi perhatian luas di masyarakat.
Banyak pihak mengkhawatirkan dampaknya terhadap daya beli dan kestabilan ekonomi, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menjadi tulang punggung perekonomian.
Pandangan kritis seperti yang disampaikan oleh Mardani Ali Sera menunjukkan bahwa kebijakan yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat perlu dirancang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak sosial maupun ekonomi.
Sementara itu, desakan untuk membatalkan atau menunda kebijakan ini terus bergema, menandakan tingginya sensitivitas isu tersebut di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan. (*/Risco)