Yadnya Tulus Krama Tulikup, Padudusan Alit Digelar di Pura Sakti

8 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Pura Sakti yang berstana Ida Bhatara Sakti—manifestasi dari Dang Hyang Dwijendra—merupakan Pura Dang Kahyangan yang diempon dua banjar adat, yakni Banjar Menak dan Banjar Meranggi, di bawah naungan Desa Adat Tulikup Kelod.

Manggala Karya Ida Bagus Oka Murda menjelaskan bahwa pelaksanaan Karya Padudusan Alit kali ini bertepatan dengan purnama enam sasih sejak karya sebelumnya.

“Untuk tahun ini kami melaksanakan karya dalam dua tahap, pertama pada Mei 2025 ini, dan tahap kedua akan dilakukan enam bulan berikutnya,” jelas IB Oka Murda, Rabu (14/5/2025) malam.

Menurut IB Oka Murda, piodalan di Pura Sakti memang rutin digelar setiap 210 hari atau setiap Anggar Kasih Medangsia sesuai hitungan kalender Bali (pawukon).

“Kami memilih tingkatan madya dalam karya kali ini. Sebelumnya, pada November 2024 lalu, kami melaksanakan Karya Agung dengan tingkatan utama, dengan persembahan kerbau lima ekor, kijang, dan petu. Karya kali ini sebagai lanjutan dan bentuk bhakti kami,” ujarnya.

Persiapan karya dimulai sejak Senin (12/5), puncak karya Selasa (13/5), dan akan diakhiri dengan penyineban pada Jumat (16/5). Seluruh rangkaian karya dipuput oleh sejumlah sulinggih dari beberapa griya.

Berikut daftar sulinggih yang memuput karya:
1. Puncak Karya (13/5): Dipuput oleh Ida Pedanda Siwa dari Griya Gede Tulikup dan Ida Pedanda Buda Saraswati dari Griya Batuan, Sukawati.
2. Manis Piodalan (14/5): Dipuput oleh Ida Pedanda dari Griya Kuluan, Kemenuh.
3. Penyineban (16/5): Dipuput oleh Ida Pedanda Putra Manuaba dari Griya Manuaba Tulikup, serta dua sulinggih lainnya dari Griya Lumbung Sasih Batubulan dan Griya Sidem, Bunutin, Bangli.

Untuk biaya pelaksanaan karya padudusan alit ini, krama menghabiskan dana sekitar Rp 100 juta. “Kalau piodalan biasa kisarannya Rp 90 juta, tapi karena ada karya, anggaran lebih dari itu,” ungkap IB Oka Murda.

Ia pun menyampaikan rasa syukur karena masih bisa ngayah dan meyadnya bersama krama dengan tulus ikhlas.

“Harapan kami, melalui yadnya ini semoga jagat Bali damai dan masyarakat Tulikup khususnya selalu diberikan kesehatan, terhindar dari marabahaya. Sekarang ini godaan makin banyak, tapi jangan sampai nilai yadnya hilang. Kita harus jaga ketulusan,” pesannya.

Ia juga menyoroti fenomena zaman kini, termasuk naiknya harga bahan upakara hingga maraknya stres dan pindah keyakinan.

“Yadnya bukan soal besar kecilnya biaya. Dalam sastra, yadnya ada tingkatan: nista, madya, dan utama. Yang terpenting adalah ketulusan dan keyakinan. Yadnya adalah bentuk ungkapan syukur dan cara kita membayar hutang secara niskala kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, leluhur, dan alam semesta,” pungkasnya. *m03

Read Entire Article