ARTICLE AD BOX
Mereka itu para nabi, filsuf, politikus, ilmuwan, penemu, bisa juga seniman. Dalam rentang panjang, mereka yang segelintir itu yang membuat umat manusia sengsara, karena mereka itu jahat, menghasilkan peradaban yang brutal. Tapi mereka juga pembawa bahagia, manusia baik, sosok bersahaja, dan terus menerus menyampaikan pesan perdamaian.
Dunia kemudian mengenal tahun-tahun kegelapan, namun juga zaman pencerahan. Eropa pernah mengalami zaman kegelapan itu, antara tahun 500-1500 Masehi. Periode ini adalah masa-masa suram, juga disebut sebagai Abad Pertengahan Awal. Baru pada abad ke-17 dan ke-18 zaman murung ini menjadi abad pencerahan, bercirikan kegemilangan intelektual dan budaya, kemajuan industri, yang dikenal sebagai zaman pencerahan, Renaisans.
Perubahan-perubahan menuju zaman kegelapan ke zaman pencerahan itu disebabkan oleh segelintir orang. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak gampang ada setiap tahun. Mereka itu pemicu, penyemangat, dan peletak dasar agar manusia bergerak ke masa depan. Kita kemudian menikmati lampu pijar, mesin-mesin yang menggerakkan industri, mobil, sampai ke pesawat terbang supersonik.
Mereka yang tidak gampang ada itu sungguh sulit diperkirakan kapan mereka akan hadir. Ketika Bumi diguncang oleh tindakan pemusnahan ras pada Perang Dunia II oleh Hitler, ada pemimpin-pemimpin yang bergabung dalam Sekutu untuk menghadang kejahatan itu. Hitler dan para pemimpin Sekutu itu adalah orang-orang yang tidak gampang ada. Tapi, alam selalu menghadirkan sosok-sosok seperti itu.
Pele, legenda sepakbola itu, atau Muhammad Ali sang petinju, adalah contoh sosok yang belum kita jumpai dalam rentang seratus tahun. Seperti juga kita berharap, jangan sampai lagi ada manusia sebengis Hitler, yang belum pasti hadir sepuluh tahun atau seabad nanti.
Alam memberi kita kesempatan untuk menghadirkan sosok-sosok yang tidak gampang ada itu untuk hadir di Bumi. Namun tak pernah kita sanggup memastikan, bahkan menduga pun sulit, seberapa jauh usaha-usaha itu akan berhasil. Seperti kita merindukan kehadiran sosok seperti Siddharta Gautama pada suatu ketika nanti. Keberadaan itu kita tunggu-tunggu di tengah dunia yang dijejali hiruk pikuk pertikaian.
Bali pun memiliki orang-orang yang tidak gampang ada. Para empu dan maharesi yang meletakkan dasar-dasar pegangan hidup yang diyakini hingga kini, adalah sosok-sosok yang tidak gampang ada. Kita bisa menelusuri sejarah perihal abad-abad kedatangan para maharesi itu ke Bali. Jumlah mereka tidak banyak, untuk tidak menyebutnya segelintir. Para pengikutnya yang banyak, yang membentuk, membenahi, peradaban Bali menjadi zaman gemilang yang dikagumi dunia hingga kini.
Karena Bali dikenal sebagai pulau seniman, sosok-sosok yang tidak gampang itu adalah kebanyakan seniman. Antara lain kita mengenal nama-nama Lempad atau Cokot yang tergolong sebagai sosok-sosok yang tidak gampang ada, tidak bisa kita jumpai kehadirannya di setiap waktu kita inginkan. Entahlah, apakah satu abad lagi kita akan bertemu orang sekaliber Lempad dan Cokot hadir di Bali.
Kendati begitu, yang tidak gampang ada itu bakal selalu ada. Di zaman modern, di abad ke-21, alam memberi Bali sosok yang tidak gampang ada itu. Satu di antaranya adalah Cok Sawitri, yang lahir 1 September 1968, meninggal 4 April 2024 di Denpasar. Rekan-rekannya mengenang Cok dalam buku ‘Nyala Kenangan Cok Sawitri’ diluncurkan Selasa 8/4 di Taman Budaya Denpasar.
Selain lewat peluncuran buku, sahabat dan kerabat mengenangnya dengan pergelaran teater dan sastra malam itu. Acaranya kental oleh aroma seni pertunjukan dan sastra yang digeluti Cok sepanjang hayat, yang ia tularkan kepada sahabat-sahabatnya. Mereka adalah para pengagumnya dan boleh jadi acap kali ngomong satu sama lain, “Kapan lagi kita menemukan sahabat sebaik Cok?” Menurut mereka Cok adalah orang yang tidak gampang ada. Berpuluh tahun mendatang tidak gampang mereka menemukan sosok seperti Cok Sawitri.
Dalam kehidupan sehari-hari yang sangat pribadi, setiap orang pasti mengalami kerinduan pada orang yang tidak gampang ada, seperti kekasih hati, ayah, ibu, atau sahabat yang tulus, unik dan membentuk serta mempengaruhi perjalanan hidup kita.
Yang tidak gampang ada itu ternyata semakin terasa ada, justru ketika ia sudah tiada. 7