ARTICLE AD BOX
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Wayan Sudirta mengapresiasi langkah Pimpinan Komisi III DPR segera merespon polemik tersebut. Sebab banyak opini yang menduga ada konspirasi yang melemahkan pihak-pihak tertentu. “Saya melihat polemik harus diakhiri. Tim DPR tidak ada maksud melemahkan pihak-pihak tertentu atau menguntungkan pihak-pihak tertentu atau bahasa hukum yang lebih sering dipakai adalah ‘penyelundupan hukum’.
Kini, kata Sudirta semua dapat melihat dan berpendapat secara bebas mengenai draf RUU KUHAP tersebut. Saat ini KUHAP telah berusia 44 tahun dan masih berlaku atau menjadi acuan bagi sistem penegakan hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Melihat dari RUU KUHAP tersebut, Sudirta menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi fitur utama sebagaimana disampaikan oleh Komisi III.
Menurut Sudirta, beberapa poin perubahan tersebut adalah RUU KUHAP ini tidak mereduksi atau melemahkan pihak manapun, bahkan menguatkan peran advokat dan penegak hukum itu sendiri. “RUU KUHAP juga mengenalkan mekanisme keadilan restoratif. RUU ini mengatur pelindungan untuk korban, saksi, dan seluruh pihak yang berhadapan atau berkaitan dengan proses hukum, termasuk pengaturan yang lebih pas tentang ‘Upaya Paksa’ dan penahanan pada khususnya,” beber Sudirta.
“RUU KUHAP melindungi pula kelompok rentan dan mencegah adanya kekerasan dan intimidasi yang kerap terjadi. Pada intinya RUU KUHAP ingin menciptakan kesetaraan hak dan kewajiban seluruh pihak berbasis HAM dan keadilan yang obyektif. Fitur-fitur baru tersebut disambut baik berbagai pihak termasuk saya sebagai anggota Komisi III yang berlatarbelakang praktisi dan akademisi,” imbuh advokat senior ini.
Sudirta menyebutkan, sebagai salah satu yang tergabung dalam tim penyusunan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP melihat bahwa KUHAP 1981 merupakan salah satu karya agung karena mengubah HIR (hukum acara perdata,red) warisan pemerintah kolonial. Sebagai salah satu anak bangsa, dia juga telah melihat dan mengalami sendiri berbagai perkembangan yang perlu direspon.
Hal yang paling krusial tentunya adalah adanya pergeseran paradigma dan filosofi pendekatan hukum pidana dan hukum acara pidana yang ada di Indonesia. “Kita telah memiliki KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) sebagai tolok ukur kita dalam me-modernisasi hukum pidana. Saat ini tentu KUHAP membutuhkan penyesuaian dengan dimensi baru tersebut,” tegas politisi asal Desa Pipid, Kecamatan Abang, Karangasem ini.
Sudirta yang pernah menjabat Ketua Tim Panitia Perancang Undang-undang DPD RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 menegaskan, RUU KUHAP merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan modernisasi hukum acara pidana. “Tentu tidak dapat memuaskan seluruh pihak secara langsung.
Tapi saya juga perlu menegaskan kembali disini bahwa komunikasi publik sangat penting. Saya mengajak publik untuk terus membantu mengawal RUU ini secara lebih arif dan bijak dalam memberikan masukan maupun berbagai tanggapan,” ujarnya.
Dalam beberapa catatan Sudirta, pembahasan RUU KUHAP perlu pengenalan prinsip baru dalam Pasal 4 yakni keseimbangan prinsip hakim dan para pihak yang berlawanan. Pasal ini ingin menggeser prinsip inquisitorial menjadi adversarial, yang mengenal prinsip keseimbangan.
Namun begitu prinsip ini secara komprehensif perlu untuk dijelaskan lebih lanjut dan dijabarkan ke dalam selurub pasal yang ada di KUHAP, khususnya dalam pembuktian dan gugatan terhadap mekanisme yang dijalankan secara fair atau adil.
Berikutnya, kata Sudirta, mengenai jaminan tentang peran advokat dalam konsep pelindungan hak warga negara dimuka hukum yang telah dijamin dalam konstitusi. “Peran advokat dalam KUHAP seperti Pasal 141 memang telah diperluas secara signifikan.
Hal yang menjadi catatan dan sekaligus tantangan disini adalah memaksimalkan peran advokat baik selama dalam sistem peradilan pidana maupun di luar persidangan formal,” beber Sudirta.
Selanjutnya mengenai upaya paksa dan pengawasan yang telah diatur secara lebih obyektif daripada bergantung pada subyektivitas. Hal ini merupakan cara untuk melindungi tindakan semena-mena dari oknum aparat.
Namun membutuhkan mekanisme yang mampu mencegah kesewenangan dan mengawasi pelaksanaan upaya paksa secara prosedural. “Pengaturan upaya paksa menjadi salah satu roh utama dari modernisasi KUHAP,” pungkas Sudirta.n nat