Pilah Sampah Tanggungjawab Kita Bersama

4 weeks ago 5
ARTICLE AD BOX
HIDUP manusia kini berada pada zaman yang menuntut kesadaran ekologis. Hal ini tak sekadar slogan. Kondisi akibat dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, disusul pola konsumsi yang kian kencang. Salah satu dampaknya, sampah yang sebelumnya hanya sebuah persoalan lokal, kini berkembang menjadi krisis global.

Ceceran sampah di pinggir jalan dan sudut-sudut kota telah menjadi pemandangan yang kian lazim. Masyarakat masih memandang sampah sebagai gangguan semata. Bahkan dari sisi visual, keberadaannya telah mencemari keindahan dan kenyamanan lingkungan.

Namun, di balik tumpukan sampah yang terus menggunung, tersembunyi peluang besar yang kerap luput dari perhatian. Limbah sejatinya bukan hanya sisa konsumsi, melainkan sumber daya yang dapat diolah dan dimanfaatkan kembali. Dan semua itu bermula dari satu langkah sederhana namun krusial yaitu pemilahan sampah sejak dari sumbernya.

Di Bali, terkhusus di Kabupaten Gianyar, misalnya, menjadi sebuah area yang pantas ditelaah terutama dalam hal pilah sampah. Karena wilayah ini memiliki karakteristik unik yang mencerminkan tantangan dan potensi dalam pengelolaan sampah di tingkat daerah. Kabupaten ini juga dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan dan pariwisata di Bali. Namun, tekanan semakin besar akibat meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi, khususnya di sektor pariwisata. Seiring dengan itu, volume sampah yang dihasilkan pun terus bertambah, sehingga membutuhkan sistem pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan.

Beberapa wilayah telah memelopori penerapan kebijakan pemilahan sampah dari sumber. Kebijakan ini bukan hanya langkah administratif, melainkan juga upaya sistematis untuk membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis sumber. Pemerintah juga menunjukkan komitmen kuat dalam menerapkan pengangkutan terjadwal dan sanksi administratif bagi pelanggar, yang menjadikannya model menarik untuk diteladani oleh daerah lain.

Dengan kombinasi antara kebijakan progresif, kepedulian sosial, dan tantangan nyata di lapangan, Kabupaten Gianyar sebagai contoh, menyediakan konteks yang tepat untuk menakar sejauh mana program pilah sampah dapat diterapkan secara efektif, sekaligus menjadi cerminan dinamika pengelolaan sampah di daerah lain di Bali. Pertanyaannya, sejauh mana sebenarnya hasil dari upaya pilah sampah ini? Apakah hanya memilah karena anjuran, atau sudah benar-benar memahami nilai dari setiap botol plastik, residu, dan sisa makanan yang kita pisahkan? Kita harus jujur dan kritis menilai hasil nyata dari kebijakan dan praktik pemilahan sampah yang selama ini dijalankan.

Selama ini, narasi besar tentang sampah terlalu sering terjebak dalam upaya pembersihan semata yaitu, membuang, mengangkut, atau menyingkirkannya sejauh mungkin. Lontaran kata-kata ini sering kali datang dari para penguasa, dari tingkat paling bawah hingga atas. Tindakan ini kerap dilakukan oleh mereka yang, dengan berbagai alasan, tidak ingin menyulitkan masyarakat atau konstituennya. Alhasil, selalu ada tumpukan sampah yang tidak terpilah. Padahal, pendekatan semacam itu hanya menggeser masalah, bukan menyelesaikannya. Kita lupa bahwa sampah, ketika dikelola dengan baik, justru bisa menjadi sumber daya. Logam, plastik, kertas, hingga sisa makanan bisa diproses ulang dan digunakan kembali, asalkan dipilah sejak awal.

Pemilahan sampah memungkinkan kita memutus rantai pemborosan. Pilah sampah membuka pintu bagi ekonomi sirkular, di mana limbah bukan akhir dari siklus konsumsi, melainkan awal dari proses baru yang lebih berkelanjutan. Di negara-negara dengan sistem pengelolaan sampah yang maju, pemilahan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sampah organik dan anorganik dipisah, begitu pula plastik, kertas, dan logam. Hasilnya, volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) berkurang drastis, sementara industri daur ulang tumbuh pesat dan membuka lapangan kerja. Dari sinilah kita bisa menakar hasilnya. Berkurangnya volume sampah di TPA, tumbuhnya industri daur ulang, dan menurunnya emisi karbon dari sektor limbah.

Sayangnya, praktik pemilahan sampah sering kali masih berhenti pada tataran simbolik. Wadah-wadah sampah dalam berbagai bentuk dan warna memang telah tersedia. Namun,  sebagian masyarakat belum sepenuhnya memahami cara menggunakannya dengan benar. Meskipun hasilnya belum terlihat maksimal, upaya untuk membangun kesadaran publik terus dilakukan. Salah satu bentuk komitmen nyata ditunjukkan melalui kebijakan pengembalian truk-truk pengangkut sampah yang datang di luar jadwal ke titik asalnya, sebagai langkah disiplin dalam menegakkan aturan yang telah ditetapkan.

Ini soal kesadaran. Sistem pengelolaan sampah, sebaik dan secanggih apa pun, akan lumpuh tanpa partisipasi masyarakat. Sungguh membutuhkan political will agar program pemilahan tidak hanya menjadi proyek seremonial. Prinsip “pencemar membayar” (polluter pays) harus ditegakkan. Siapa pun yang menghasilkan sampah harus ikut bertanggung jawab atas pengelolaannya. Ketika tanggung jawab mulai dibicarakan, selalu ada suara yang mengatakan, “Jangan memberatkan masyarakat.”

Teknologi seperti pemilah berbasis IoT, pengolah biogas, hingga pabrik waste to energy (WTE) memang menjanjikan. Namun, mari jujur. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, belum memiliki infrastruktur dan pendanaan yang memadai untuk menerapkan semua ini secara merata. Sektor pengelolaan limbah yang maju tidak bisa dirancang dengan formula standar. Pengaturan awal, karakteristik regional, dan kondisi ekonomi sangat berbeda dari satu negara ke negara lain, sehingga satu formula tidak bisa diterapkan untuk semua.

Contohnya bisa dilihat pada negara seperti Singapura. Negara yang selalu dipakai kiblat pengelolaan sampah yang berhasil. Negara ini memiliki sistem pengelolaan sampah yang sangat terintegrasi dan efisien. Di Singapura, sampah yang tidak dapat didaur ulang sebagian besar diolah di pabrik waste to energy untuk menghasilkan listrik, sebelum residunya dibuang ke Semakau Landfill, satu-satunya tempat pembuangan akhir mereka yang dibangun secara berkelanjutan di atas laut. Dengan sistem pemrosesan termal tersebut, volume sampah yang dikirim ke TPA berkurang hingga 90%.

Namun, sistem seperti ini tidak dibangun dalam semalam. Singapura memiliki tata kelola yang kuat, konsistensi kebijakan, investasi besar dalam infrastruktur, serta partisipasi masyarakat yang tinggi. Bahkan dengan teknologi canggih sekalipun, pemerintah Singapura tetap menekankan pentingnya pengurangan sampah dari sumbernya dan edukasi publik yang berkelanjutan. Mereka memahami bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir.

Inilah pelajaran penting bagi kita. Teknologi memang membantu, tetapi kesadaran dan kedisiplinan masyarakatlah yang menjadi fondasi utama. Maka, solusi paling mendasar dan murah tetaplah pada sumbernya. Tanpa itu, teknologi setinggi apa pun tidak akan mampu menyelesaikan persoalan sampah secara menyeluruh.

Sampah pada dasarnya merupakan cerminan dari gaya hidup. Jika gaya hidup tidak mengalami perubahan, maka secanggih apa pun infrastruktur yang dibangun, hasilnya tetap tidak akan signifikan. Oleh karena itu, menakar keberhasilan program pilah sampah tidak hanya dapat dilakukan secara kuantitatif melalui tonase hasil daur ulang atau energi yang dihasilkan dalam megawatt. Keberhasilan juga harus diukur dari aspek perubahan perilaku masyarakat. Perubahan ini tercermin dari meningkatnya pemahaman tentang jenis-jenis sampah, kebiasaan membawa tas belanja sendiri, hingga tanggung jawab pelaku usaha terhadap sampah yang mereka hasilkan. Inilah bentuk hasil yang memiliki dampak paling besar dalam jangka panjang.

Akhirnya, menakar hasil program pilah sampah berarti menilai sejauh mana masyarakat telah berpindah dari budaya membuang sembarangan menuju budaya mengelola secara bertanggung jawab. Sampah tidak lagi dipandang sebagai akhir dari siklus konsumsi, melainkan sebagai awal dari proses baru yang membawa nilai, manfaat, dan keberlanjutan bagi lingkungan serta kehidupan manusia.

Masa depan pengelolaan sampah tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang kita miliki, melainkan oleh seberapa dalam kita mengubah cara pandang. Solusi modern tidak hanya berfokus pada aspek teknologi, tetapi juga pada aspek sosiologis. Sampah adalah cermin dari gaya hidup. Jika menginginkan masa depan yang bersih dan berkelanjutan, maka memilah sampah bukan sekadar kewajiban, namun tanggung jawab bersama. Oleh: I Ketut Puja (mantan Sekretaris Environmental Parliament Watch, Bali)
Read Entire Article