ARTICLE AD BOX
SINGARAJA, NusaBali
Ribuan krama Desa Adat Buleleng yang terdiri dari 14 banjar adat, melaksanakan upacara melasti bertepatan pada Purnama Kadasa, Saniscara Wage Julungwangi, Sabtu (12/4) siang hingga sore. Upacara penyucian alam semesta ini diikuti oleh 76 sarad (alat mengusung arca dewa dewi) dan 15 kotak ampilan (tempat penyimpanan pusaka) dari dadya dan juga kahyangan tiga Desa Adat Buleleng.
Rangkaian melasti Desa Adat Buleleng dimulai pada pukul 12.00 Wita. Seluruh krama dadya dan sarananya berkumpul terlebih dahulu di Pura Desa Buleleng di Kelurahan Paket Agung, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Setelah beberapa sarad dan kotak ampilan lengkap, baru bergerak menuju Pura Segara Buleleng dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar 4 kilometer ke tepi Pantai Pelabuhan Tua Buleleng.
Seluruh sarad dan kotak ampilan berbaris rapi menuju rute yang telah ditetapkan sesuai dengan urutan yang telah diatur panitia. Seluruh sarad dan kotak ampilan yang diusung krama, wajib melakukan rangkaian makekobok (simbol pembersihan dewa-dewi beserta krama dengan menerobos air laut) saat memasuki tepi pantai. Selanjutnya menuju tempat yang disiapkan, sembari menunggu prosesi upacara di Pura Segara Buleleng. Usai mendapatkan tirta, dari Pura Segara, seluruh krama akan kembali menstanakan kembali dewa-dewi yang dipuja di dadya maupun kahyangan tiga desa adat Buleleng.
Upacara melasti serangkaian Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan Desa Adat Buleleng berbeda dengan pelaksanaan melasti pada umumnya. Sebagian besar umat Hindu di Bali biasanya melaksanakan upacara melasti sebelum Hari Raya Nyepi. Namun Desa Adat Buleleng menggelar usai Hari Raya Nyepi tepatnya pada saat Purnama Kadasa.

Upacara melasti Desa Adat Buleleng yang melibatkan 76 sarad dan 15 kotak ampilan pada Purnama Kadasa, Saniscara Wage Julungwangi, Sabtu (12/4). –LILIK
Kelian Desa Adat Buleleng Jro Nyoman Sutrisna, menjelaskan pelaksanaan Nyepi di Desa Adat Buleleng mengacu pada lontar Sundarigama dan lontar Mpu Kuturan. Pelaksanaan melasti di Desa Adat Buleleng pun sempat digeser pada Purnama Kasanga, agar sama dengan melasti di tempat lain. Namun saat itu, malah terjadi musibah di wewidangan desa adat.
“Kami kembalikan ke Purnama Kadasa karena dulu pernah digeser pada Purnama Kasanga tetapi terjadi musibah. Kami tidak berani menyimpang dari apa yang tertera pada lontar Sundarigama dan Mpu Kuturan, dan sudah dilaksanakan turun temurun di desa adat Buleleng,” ucap Sutrisna.
Di sisi lain, pelaksanaan melasti tahun ini, desa adat melarang kramanya menggunakan plastik sekali pakai. Terutama untuk membungkus tirta dan juga bekal makanan dan minuman yang dibawa. Seluruh dadya dan pangempon kahyangan tiga kompak hanya membawa sangku untuk memohon tirta (air suci) di Pura Segara.
Jro Sutrisna menyebut, larangan pemakaian plastik sekali pakai ini sesuai dengan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. “Seluruh dadya dan krama yang mengikuti upacara melasti semuanya sudah tertib hanya membawa sangku untuk nunas (mohon) tirta,” imbuh pensiunan Kepala Dinas Pariwisata Buleleng ini.
Sementara itu prosesi melasti kali ini juga dihadiri Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra. Sebagai kepala daerah Sutjidra juga dilibatkan dalam prosesi melasti untuk menyambut kedatangan sarad dewa-dewi se-desa adat Buleleng di depan Pura Segara.
“Pelaksanaan melasti desa adat Buleleng ini berbarengan dengan upacara Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih. Tujuannya untuk membersihkan alam semesta. Setelah melasti ini, besok sudah memulai lembaran baru. Harapan kita dengan alam yang harmonis, masyarakat Buleleng guyub dan upacara berjalan lancar,” kata Bupati Sutjidra. 7 k23