Desa Adat Jimbaran Gelar Mapinton Ngiring Sasuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu

9 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
Prosesi diawali dengan mapeed mamundut pelawatan Barong Ket menuju Pura Parerepan Desa Pecatu sebelum akhirnya menuju Pura Luhur Uluwatu. Lebih dari 25.000 krama dengan kompak berjalan kaki sejauh 15 kilometer dari Pura Ulun Siwi, Jimbaran menuju Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. 

Mengenakan pakaian adat Bali, iring-iringan ini membentang sepanjang 6 hingga 7 kilometer. Dari informasi yang dihimpun, tradisi berjalan kaki ini bukan hanya soal teknis perjalanan, tetapi merupakan bentuk pengabdian (subakti) yang tulus. Sebab, menurut cerita tetua Jimbaran, dahulu pernah dicoba menggunakan kendaraan, namun belum sempat menyelesaikan persiapan, berbagai peristiwa tak masuk akal terjadi, sehingga para tetua Jimbaran memutuskan kembali pada jalur tradisi berjalan kaki sebagai satu-satunya cara yang selaras dengan kehendak niskala.

Ketua Panitia Petangian Ida Betara Dewa Ayu Desa Adat Jimbaran I Nyoman Sudana, mengatakan bahwa jalannya prosesi ini merupakan bagian dari tradisi turun-temurun yang tidak bisa diubah. Tahun ini antusias krama membeludak dan melampaui jumlah prosesi pada tahun 2023. 

“Astungkara semua berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan dan sesuai dengan rencana awal. Terakhir kami melaksanakannya tahun 2023. Tahun ini jumlah peserta lebih banyak. Kami perkirakan lebih dari 25.000 krama ikut berjalan kaki sejauh 15 kilometer,” ujar Sudana, Minggu (11/5).

Sudana menjelaskan bahwa pada Senin (12/5) pagi, mereka kembali dari Pura Parerepan Pecatu menuju Pura Ulun Swi Jimbaran dengan berjalan kaki. Menurut dia, pada Sukra Pon Medangsia, Jumat (16/5), akan digelar upacara besar, yaitu Tegak Partirtaan, yang akan disertai pertunjukan Calonarang pada malam hari yang dipusatkan di Desa Jimbaran.

Iring-iringan krama Desa Adat Jimbaran dalam prosesi upacara Mapinton Ngiring Sasuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu yang melintasi Jalan Raya Uluwatu I Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung pada Minggu (11/5). –RIKHA SETYA 

Sekretaris Sekaa Barong Jimbaran I Ketut Sutarja, menuturkan rangkaian mapinton tidak sekadar kegiatan rutin setiap lima kali Hari Raya Galungan atau dalam hitungan kalender sekitar dua setengah tahun sekali, melainkan upacara sakral yang mengandung makna permohonan dan perkenalan diri kepada kekuatan Ida Sang Hyang Widhi. Pusat upacara pun dilakukan di Pura Dalem Luhur Uluwatu, salah satu Pura Sad Kahyangan.

“Makna yang bisa kita bicarakan, mapinton itu adalah merupakan proses permohonan, perkenalan dari sesuatu kepada Yang Di Atas. Kenapa di Pura Luhur Uluwatu? Karena merupakan Pura Sad Kahyangan, kedua kiblat kita di Jimbaran adalah yang melingga di sana, mungkin ini lah pertimbangan yang diambil oleh panglingsir Jimbaran, sebagai bentuk penghormatan dari Sad Kahyangan itu,” ungkap Sutarja.

Sutarja menceritakan, tradisi berjalan kaki tidak hanya pilihan teknis, tetapi bentuk pengabdian (subakti) kepada Ida Bathara Sasuhunan. Tradisi tersebut dimulai saat galang kangin atau saat matahari terbit. Menurutnya, dulu sempat dicoba dengan kendaraan bermotor, namun sebelum menyelesaikan persiapan, terjadi peristiwa-peristiwa tak masuk akal yang membuat para panglingsir memutuskan kembali ke jalur awal berjalan kaki sebagai satu-satunya cara.

“Di zaman modern yang serba gampang ini, kami bangga bisa mempertahankan sebuah tradisi di era modern. Ini sulit sehingga subakti kita di sini, nilainya luar biasa,” lanjutnya. 

Sutarja menjelaskan, upacara diawali dengan prosesi sejak H-50 Galungan, yaitu matedunan nunas baos, untuk memohon petunjuk mengenai pelawatan yang akan ‘ngadeg’, apakah yang alitan atau yang duwuran. Selanjutnya dilakukan persiapan lainnya seperti Mepajar atau Ngilab di hari Umanis Galungan.

Kahyangan Tiga (pura utama) di Jimbaran pun dikatakan menjadi tempat penting bagi prosesi mapinton, yaitu pamuspaan dan pengenalan pelawatan Sasuhunan Ida Bathara sebelum berangkat. Pada hari Jumat setelah Umanis Galungan, digelar di Pura Ulun Siwi, Sabtu di Pura Khayangan Dalem, Minggu embang (tidak ada kegiatan), dan Senin diadakan pacaruan agung di Pura Puseh Desa.

Prosesi utama pada 11 Mei dimulai pukul 06.00 Wita dari Pura Ulun Siwi menuju Pura Parerepan, Pecatu. Setelah beristirahat, rombongan melanjutkan perjalanan ke Pura Luhur Uluwatu. Di sana, puncak upacara mapinton dilaksanakan. Usai upacara, krama melakukan mapamit budal, di mana ada prosesi ngunying saat kembali ke Pura Parerepan. Pada malam hari, digelar pementasan Calonarang di Lapangan Pecatu. Kemudian pada Senin (12/5) pagi, seluruh rombongan kembali berjalan kaki menuju Pura Ulun Siwi Jimbaran. Pelawatan yang diiringi meliputi satu Barong dan tiga Rangda, simbol dari sasuhunan yang disungsung oleh Desa Adat Jimbaran. Ritual ini tak bisa dilepaskan dari proses matangi, yaitu penyomian atau proses menyeimbangkan unsur butha kala untuk menciptakan harmoni semesta.

“Kami juga menyungsung tapel gerubug yang berfungsi menstabilkan energi saat ada gangguan atau kekacauan. Jika sesuhunan tidak ‘napak pertiwi’, tidak ada upacara metangi, bisa muncul gerubug (bencana),” jelas Sutarja.

Prosesi ini juga mencakup sembahyang dan persembahan di sejumlah pura seperti Pura Tegah Sari Jimbaran dan Pura Ubung Sari Tegeh Buhu Ungasan sepanjang rute sebelum pelawatan melinggih di Pura Parerepan Pecatu. Dalam upacara ini, lanjut Sutarja, terdapat pantangan bagi krama yang bersentuhan langsung dengan prosesi petangian, seperti tidak makan daging babi. Sementara bagi masyarakat umum yang ikut sebagai bentuk subakti, tidak ada pantangan khusus.

“Harapan setelah upacara ini dilakukan, bagi kami masyarakat di Jimbaran, mikro dan makrokosmos itu lebih damai, tenteram, dan makmur. Karena esensi barong dan rangda itu adalah penyomian agar lebih rukun, tidak peduli warga itu pendatang yang penting mendapat dampak baiknya,” tandas Sutarja. 7 ol3
Read Entire Article